Menjadi seorang publik figur
ataupun figuran, politisi, kader partai/lembaga, anggota dewan bahkan pemimpin
suatu daerah/lembaga seharusnya sebelum berkecimpung di dunia tersebut harus
sadar betul dengan resiko yang ada disana. Keangkuhan karena memiliki kekuasaan
dan popularitas tidak sama sekali memberikan perubahan dan pengaruh kepada
orang yang ada disekelilingnya.
Cacian, hinaan dan kritikan
adalah bagian dari cerita hidup mereka. Lantas kenapa mereka begitu anti dengan
hal tersebut, padahal itu bagian dari hidup mereka? Mereka yang tidak mau
menerima konsekuensi terhadap profesi adalah mereka yang mempunyai kualitas
yang sangat rendah.
Adanya jarak halus pemisah antara
hinaan dan kritikan seyogyanya tidak menjadi masalah yang harus dibesarkan,
sebagaimana anjing tidak akan marah saat dikatakan anjing. Bahkan kucingpun tak
akan pernah marah saat dikatakan anjing.
Apa dosa anjing sehingga kamu
begitu anti dengan “anjing”. Takut najis? Bahkan hati mu sekalipun belum tentu
lebih suci dari seekor anjing sekalipun. Toh, kamu hanya perlu mencucinya
dengan air dan tanah. Lha, hati mu mau kamu sucikan dengan apa?
Negeri yang antri dengan kritikan
menunggu korban untuk dimakan.
Isu-isu ataupun wacana yang
dikeluarkan pemerintah membuat negeri ini rusuh, terjadi kecemburuan antar
agama. Lantas kenapa tidak ada yang melaporkan isu ini sebagai ancaman bagi
kedaulatan negara?. Si jelatalah yang selalu menjadi korban.
Namun, disaat sang jelata
melempar isu, mereka kemudian dilaporkan sebagai perusak kedaulatan negara. Apa
salahnya jika sang jelata ingin menunjukkan eksistensinya. Ternyata mereka juga
sebagai pelawak. Toh tidak ada yang salah, katanya Demokrasi. Mereka bebas
berekspresi, mengabdi dan beresolusi.
Sulit memang mempertahankan
kemerdekaan negeri ini jika hati kaum figuran belum merdeka. Kehidupan mereka
yang selalu merasa terancam saat menerima kritikan, itu membuktikan bahwa
mereka dalam kondisi rapuh. Tapi apakah perlu anti terhadap kritikan dan
hinaan? Sudah saatnya kaum figuran bersikap dewasa, ambil hikmah disetiap
situasi.
Tidak perlu melempar wacana jika
akan memperkeruh suasana.
Sang jelata pun sudah paham,
posisi kaum figuran sedang terancam tertindas si jelata. Jika presiden
berpenghasilan lebih besar dari dari wakil presiden, kenapa tidak jika rakyat
berpenghasilan besar dari pada wakil rakyat?
Kecurigaan dan sifat yang selalu
memata-matai kaum jelata tidak akan pernah usai, karena kaum figuran begitu
rapuh. Mereka akan selalu mencari dan mencari kondisi dimana kaum jelala agar
selalu dapat diintervensi.
Mereka akan selalu memperkeruh
suasana negeri, hingga kaum jelatapun bingung apa yang mau dimengerti?
Disanalah figuran hidup, mereka
hidup dibalik singgasana glamor bertahta kuasa.
Apalah Arti Sebuah Kata, Kalaupun
Saudara Anti, Hapus Saja Dari Kamus Bahasa Indonesia.
Toh mumpung Saudara punya kuasa.
Beres tooohh?
Komentar
Posting Komentar