Sebagaimana
konsep yang telah ditanamkan ke otak para manusia bahwa manusia adalah makhluk
“Zoon Politicon”, artinya manusia itu adalah makhluk sosial. Singkat
kata manusia membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Setidaknya
itulah materi kuliah semester 1 atau 2 dihampir semua perguruan tinggi di
Indonesia. Tidak ada mahasiswa yang tak kenal dengan teori Aristoteles ini.
Kemudian
ada juga manusia “Homo Homini Socius” dan “Homini Lupus”. Ah
sudahlah ini suatu kodrat manusia dalam teori kemanusian yang pernah
dicetuskan.
Dalam
artikel kali ini saya tidak bermaksud untuk menentang teori yang ada, karena
mungkin juga tidak ada pengaruhnya bagi manusia, toh ini Cuma pengalaman
pribadi sejak dari kampung halaman hingga sekarang mengabdi diperantauan. Yah
kata moyang kami “Karatau
madang di hulu, Babuah babungo balun, Marantau bujang
dahulu, Di rumah baguno balun”.
Manusia
sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan manusia
lainnya. Bahkan kepribadian Introvert pun masih membutuhkan orang lain
untuk hidup. Karena mereka masih menyandang status sebagai “manusia tulen”,
bukan “setengah dewa”.
Bertahun-tahun
marantau bukan hanya rezeki yang dicari, pengalaman, dunsanak,
bahkan sang tulang rusuk yang hilangpun ditemukan. Dunia memang
memberikan peristiwa yang menyisakan cerita-cerita bermakna. Peran manusia
sebagai makhluk sosial tidak hanya berlaku sebatas manusia saja, bahkan
hubungan sosial dalam dunia perbinatangan pun setidaknya juga harus
dijaga. Karena hubungan kepada setiap makhluk harus tetap berlangsung. Seperti
hubungan manusia dengan ayam, manusia butuh ayam untuk makan gulai ayam,
seperti halnya manusia tidak membutuhkan kambing untuk sate bebek.
Dalam
“Zoon Politicon” ada hal yang mestinya sama-sama kita jaga, jangan sampai jadi miang
(bulu
halus pada tumbuhan, seperti pada rebung, bambu, dsb, biasanya menimbulkan rasa
gatal; lugut; selara). (nomina)
1. Mengorbankan
orang lain demi kesuksesan pribadi
Upaya
mengorbankan orang lain bahkan teman sendiri seolah merupakan hal yang biasa
diera saat ini. Bahkan demi suksesnya jenjang karir tidak jarang ditemukan
seorang teman memakan teman sendiri. Hal ini tidak terlepas dari persaingan
tidak sehat dalam berkarir baik di dunia swasta maupun sektor publik. Sikap
seperti ini terkesan menjilat atasan untuk sesuatu yang diinginkan.
Biasanya disini dikenal istilah “Seperti anjing terjepit”.
2.
Terlalu
bergantung pada orang lain
Pada dasarnya
hidup manusia tidak terlepas dari bantuan orang lain, namun tentu ada batas
yang harus dijaga jangan sampai kita bergantung setiap saat pada seseorang
dengan alasan apapun juga. Karena hal ini bisa menjadi penghinaan bagi diri
sendiri, akan ada anggapan sosial “ngurus sendiri aja nggak bisa gimana mau
ngurusin orang lain”. Cobalah bertindak dan bersikap semampu yang kita
bisa, dobrak keterbatasan yang ada karena jika tidak semuanya hanya akan
menyusahkan diri dan orang lain. Belajarlah mandiri dalam segala hal.
3.
Pelit
pada diri sendiri
Sikap ini
adalah sikap yang sangat memalukan. Biasanya orang yang seperti ini akan
menahan kerongkongan saat haus dan tahan lapar,
karena hanya menunggu asupan makanan dari teman yang kebetulan juga
membeli makanan. Yang paling jengkel dari orang seperti ini adalah memakan
punya orang tapi menyimpan makanan sendiri, kemudian memakannya saat tidak ada
orang. Sungguh miris, padahal mereka mampu untuk membeli sendiri. Bagi
seseorang yang tidak pelit hal ini mungkin akan membuat jengkel jikalau terjadi
hampir setiap hari, karena berbagi makanan tentu tidak dapat dilakukan kapan
saja, karena ada kebutuhan juga bagi orang lain. Selain itu orang ini bahkan
rela tidur dalam keadaan kelaparan, atau sembunyi-sembunyi makan makanan yang
masih ada pada saat orang lain terlelap tidur.
4.
Tidak
mau berkorban untuk kepentingan bersama
Orang seperti
kemungkinan orang yang mempunyai gangguan sosial tingkat dewa. Mereka biasanya
enggan saling membantu pekerjaan, baik kantor mapun lapangan. Bisa kita lihat
dalam banyak kegiatan, orang seperti ini jarang sekali membantu kegiatan
berorganisasi, walaupun mereka dalam organisasi yang sama. Tapi disaat mereka
membutuhkan bantuan orang lain mereka akan berupaya agar pekerjaan tersebut
selesai dengan melibatkan orang sekelilingnya. Entah ini gangguan jiwa atau
hanya masalah sosial semata.
5.
Menutup
diri dari hubungan sosial
“Introvert”. Ya
kepribadian ini banyak kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak
berbahaya, namun jika tidak dikontrol bisa menyebabkan gangguan kejiwaan.
Kepribadian Introvert terkadang terlahir dari diri yang mempunyai trauma masa
lalu yang menyakitkan, sehingga dia menutup diri dari lingkungan sosial dan berharap
kejadian yang sama tidak terulang lagi. Kepribadian introvert dapat diubah
menjadi ekstrovert, butuh waktu memang, yang dibutuhkan adalah support dari
orang-orang terdekat.
6.
Berat
tangan
Ini adalah
sifat tercela. Berat tangan berarti tidak mau menolong orang yang membutuhkan
padahal kita mampu berbuat. Kalaupun mau melakukan suatu tindakan ia terlihat
tidak ikhlas, karena mereka menganggap tidak ada manfaat baginya. Sifat ini
sering juga disebut manusia pemalas. Kita anggap saja sifat Setan.
7.
Tidak
mau tahu urusan bersama
Sifat apatis
pada lingkungan sosial seperti ini harus dimusnahkan dari muka bumi. Karena manusia
yang tidak mau tahu urusan bersama adalah manusia egois, manusia sampah yang
hanya tau urusan sendiri. Biasanya mereka selalu jadi pembicaraan orang-orang
sekitar.
8.
Suka
meremehkan orang lain
Jika anda sebagai
orang yang diandalkan jangan terlalu menganggap diri mampu melakukan segalanya
sendiri, karena Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan unik dan berbeda
antara satu dengan lainnya. Ini termasuk ke dalam sifat sombong. Sifat
meremehkan orang lain artinya anda memandang rendah orang yang tidak menguasai
kemampuan yang anda kuasai.
9.
Merasa
diri selalu benar, tidak mau disalahkan
Dalam sebuah
manajemen pasti ada yang mengatur dan ada pula yang diatur. Sebagai orang yang
diposisi “mengatur” anda jangan menganggap segala kebijakan anda adalah hal
benar dan mutlak serta harus dilaksanakan, ini tentunya bertentangan dengan
prinsip musyawarah. Kebanyak “pengatur” belum dewasa dalam bertindak, seperti
saat dikritik akan menolak dengan keras atau marah-marah tak jelas kepada yang
mengkritik, padahal kritik itu sifatnya membangun untuk kepentingan bersama.
Sebagai “yang diatur” juga harus tau posisi pada saat mengkritik, jika yang
dikritik adalah pribadi sebaiknya dilakukan secara personal, tapi jika dalam
bekerja sama, harus dilakukan secara terbuka dalam forum, agar kritikan itu
mendapatkan tindaklanjut langsung yang memberikan solusi untuk setiap masalah
yang dikritik. Jika “bos” tidak tahan atas pujian yang diterima bawahan,
berarti anda belum pantas menjadi bos.
Selain itu
sikap ini terkadang hanya memuji diri sendiri, yang betul adalah miliknya,
sementara yang salah dilempar ke orang lain. Sungguh penghianat berbulu domba.
10. Saling curiga mencurigai
10. Saling curiga mencurigai
Tidak adanya rasa saling percaya antara satu dengan yang lain
menorehkan jurang pemisah yang jauh dalam kehidupan sosial. Jika ini terjadi
dalam sebuah hubungan, maka berakibat pada keberlangsungan hubungan tersebut.
Tidak percaya kepada teman, saling mencurigai terkadang juga tidak dapat
dielakan, karena sudah menjadi naluri manusia pada kodratnya, entah kecurigaan
ini benar atau salah, yang pasti kecurigaan ini selalu memberikan jurang
pemisah.
Sepuluh point “egois” di atas bertebaran dalam lingkungan
masyarakat kita. Sifat ini bisa diantisipasi dengan selalu mempererat
silaturrahmi antar sesama. Belajar untuk selalu mendewasakan diri dalam
bersikap. Karena mustahil teko berisi kopi jika dituangkan menjadi teh.
Komentar
Posting Komentar