TRAGEDI PEMERKOSAAN NETRALITAS PNS


Mungkin tanah Indonesia “berguncang” tatkala tangan para pejabat negeri ini menandatangai Undang-undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Kenapa tidak, karena berbicara terkait netralitas PNS tidak terlepas intervensi Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah tersebut.
Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada mengisaratkan Bawaslu memiliki kewenangan untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran netralitas oleh ASN kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, Kemenpan RB dan Kemendagri. Dulu, sebelum Undang-undang ini terbit Bawaslu ibarat Singa kehilangan taring.
Netralitas PNS adalah kondisi dimana ketidak berpihakan ASN serta untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis ataupun etis. Kemudian kondisi ini menjadi dilema saat kepala daerah yang dalam hal ini juga sebagai pejabat pembina kepegawaian berasal dari unsur partai politik. Jabatan eselonering pada suatu pemerintahan tidak terlepas dari unsur politik suatu kepala daerah.
Undang-undang No. 10 tahun 2016 sendiri telah mengatur mengenai netralitas PNS dalam pilkada maupun Pemilu. Namun ada beberapa kesenjangan dalam bentuk kebijakan serta intervensi bagi pemangku jabatan guna melindungi kepala daerah itu sendiri sebagai petahana.
Saat ini bukan rahasia lagi apabila selama ini seorang Kepala Dinas atau Kepala Bagian di suatu daerah merupakan orang-orang ‘dekat’ pertahana. Sehingga bukan suatu hal yang aneh lagi apabila banyak ditemukan seorang Kepala Dinas yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan instansi yang dipimpinnya. Misalnya saja seorang bergelar akademis sarjana pendidikan agama, diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, atau sebaliknya, seorang sarjana teknik sipil tiba-tiba saja diangkat menjadi Kepala Bagian Kesra yang dikenal banyak mengurus masalah sosial dan keagamaan.
Bisa jadi hal itu banyak dilakukan seorang Kepala Daerah, karena alasan selain faktor demi memudahkan koordinasi, juga yang paling penting tentunya adalah untuk kelancaran urusan yang bersifat privasi antara keduanya. Dalam hal ini antara atasan dengan bawahan, tentu saja. seperti misalnya apabila pertahana akan kembali maju dalam Pilkada pada periode kedua, atau maju ke jenjang lebih tinggi dari sebelumnya.
Maka seorang Kepala Dinas itu pun akan diberi tugas yang sangat berat oleh pertahana untuk memberikan dukungannya. Dalam hal ini bukan hanya Kepala Dinas itu sendiri, melainkan wajib hukumnya untuk mengerahkan seluruh anak buahnya yang ada di bawah lingkungan kerjanya. Misalnya saja seorang Kepala Dinas Pendidikan, bahkan instansi ini sepertinya merupakan salah satu lumbung suara yang selama ini menjadi andalan pertahana, karena selain diisi oleh pejabat struktural, juga jangan lupa PNS fungsional seperti tenaga guru yang jumlahnya ratusan ribu – bahkan mungkin mencapai jutaan banyaknya yang tersebar di seluruh pelosok daerah,  suka maupun tidak akan diinstruksikan untuk satu tekad satu suara, mendukung pertahana tentunya.
Sementara jika tidak?
Fakta yang bicara, seorang PNS yang membangkang, tidak mengikuti instruksi atasannya, jangan harap dapat segera diurus kenaikan pangkat maupun jabatannya, meskipun sesungguhnya sudah memenuhi syarat maupun ketentuan aturan yang berlaku juga.
Inilah masalahnya. Sebagaimana yang banyak terjadi selama ini. Organisasi persatuan guru yang bernama PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) misalnya. Karena begitu kental posisinya dengan pejabat di dinas instansi  terkait (Dinas Pendidikan), begitu kuat cengkeramannya terhadap kaum pendidik yang menjadi anggotanya. Dengan kata lain, para pengurusnya terkesan selalu saja ‘memperkosa’ hak anggota di dalam menentukan pilihannya.
Selain itu, ancaman mutasi pegawai yang membangkang ataupun penurunan jabatan “para pembangkang” bukan suatu hal yang mustahil dilakukan oleh “yang kuasa”.
Tidak hanya Kepala Dinas saja, bahkan pemegang jabatan Sekretaris Daerah pun tidak akan terlepas dari intervensi politik dari kepala daerah. Hal ini karena jabatan sekretaris daerah merupakan jabatan tertinggi dalam dunia PNS, dan seperti sebuah keharusan bagi sekretaris daerah untuk dapat mampu mempertahankan si pertahana sebagai ucapan terima kasih karena telah dipilih dan kemudian dilantik sebagai sekretaris daerah oleh kepala daerahnya.
Dalam dunia Pegawai Negeri Sipil kata Netralitas bukanlah kata yang asing, namun Netralitas itu terasa asing saat dilaksanakan. Pertentangan antara peraturan perundang-undangan dengan instruksi pejabat yang lebih tinggi menjadi momok pada saat ini. Untuk itu butuh kepastian hukum serta kejelasan bagi netralitas dalam dunia ASN tersebut. Jangan sampai demi mencapai netralitas adanya “pemerkosaan” hak para ASN.

Komentar