Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Asman Abnur, mengungkapkan bahwa salah
satu prioritas reformasi birokrasi dalam dua tahun perjalanan Kabinet
Kerja adalah pelaksanaan reformasi kelembagaan. Hal tersebut dilakukan
untuk mewujudkan birokrasi yang efektif dan efisien.
![](https://1.bp.blogspot.com/-zlrmcEGo5_I/WrhlaQVPbDI/AAAAAAAABuE/9sP8O1e8AAULsTH3BlAV0AuhW0ASpnUlgCLcBGAs/s320/KLL.jpg)
Di tengah kondisi demikian, birokrasi
kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu. Beragam
inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja
pelayanan mereka. Anehnya, meskipun reformasi pemerintahan telah
bergulir selama delapan tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih
belum juga berubah. Alhasil, karut marut birokrasi yang terus berkembang
mengantarkan kita pada satu kesimpulan: ada yang kurang pas dengan
reformasi birokrasi Indonesia selama ini.
Dosa Birokrasi
Salah satu penyebab lemahnya kinerja
pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam paradigma
pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan
aspirasi publik sebagai obyek pelayanan itu sendiri. Dus, wajah buram
pelayanan publik pun, layaknya konsep dosa perencana pembangunan dari Ul
Haq, menjadi dosa birokrasi.
Padahal, belum optimalnya peran
pemerintah dalam memberikan pelayanan yang paripurna berakibat pada
minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu,
kemiskinan yang terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari
terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati dan
dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini.
Pertama, masalah
kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada
kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya.
Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi
pemerintah. Inefisiensi, kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan
fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum.
Kedua, masalah
profesionalisme dalam sikap, managerial, teknis dan administratif.
Masalah-masalah ini berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama
dalam mengikuti perkembangan teknologi, e-governement, paperless,
efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintahpun
cenderung sulit untuk menggerakkan partisipasi masyarakat serta
menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta dalam
penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah.
Ketiga, masalah
keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan
dalam membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah
pun dipaksa untuk mencari solusi alternatif. Salah satunya melalui
peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam
pengadaan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif
dan bukannya reaktif, yang masih merupakan kecenderungan perilaku
birokrasi saat ini.
Keempat, masalah radius
pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang
sulit dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya
menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi pembangunan. Untuk itu
diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai
pelayanan yang ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.
Pembaruan Birokrasi
Dalam praktiknya, empat masalah di atas
dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan, utamanya di
tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat.
Strategi penguatan tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses
sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi
ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun
propinsi. Strategi ini dijalankan melalui reaktualisasi kewenangan
daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi
personil yang cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD
sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan manajemen pelayanan.
Dalam kerangka demikian, perampingan
kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan, meskipun reformasi
kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah
perlu melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang
diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini diarahkan untuk melihat
permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut.
Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa
penugasan yang tumpang tindih, baik antar organisasi, maupun antara
satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja
dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan
organisasi yang kurang didukung oleh sumber daya (aparat, anggaran dan
sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas
kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku.
Berangkat dari empat permasalahan
tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah
harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas
fungsi pengaturan, pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan
profesionalitas lembaga dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana
masyarkat dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, penataan kelembagaan
dilaksanakan juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan kemampuan potensi daerah.
Penataan itu dilakukan dengan jalan penguatan organisasi di tingkat
kecamatan, desa/kelurahan yang lebih banyak berinteraksi langsung dengan
masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada camat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pemahaman pemerintah terhadap penataan kelembagaan yang tidak dipahami
sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan
jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi.
Model pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di samping
mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Tindak lanjut dari keseluruhan hal di
atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama diletakkan
pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan
antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi. Karenanya,
perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau
sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi
seksi. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan organisasi,
misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan organisasi yang
lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi
perangkat daerah, seperti dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun
tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang terdapat
tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.
Pada akhirnya, keseluruhan penataan
kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi pemerintah
daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap
perubahan situasi yang berkembang di masyarakat. Organisasi itu nantinya
diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan
dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan
lompatan ke depan untuk menjawab berbagai dinamika tersebut dan
mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.
Di sisi lain, reformasi kelembagaan
tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun ukuran
kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari
para pengambil keputusan serta pembuat kebijakan di tubuh birokrasi
menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap,
yang dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak
sedang dalam proses perubahan ataupun pergantian personil. Transparansi
pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder
birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal.
Partisipasi masyarakat tak boleh
dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu
berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis
layanan. Indikator ini tidak lepas dari faktor pembiayaan yang
dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan
sosialisasi indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik.
Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang tepat dan mudah
dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula
implementasi dan evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan
berkala harus menginformasikan hasil implementasinya kepada publik.
Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan
terarah dan tepat sasaran
Selama Pemerintahan Kabinet Kerja ini
sudah 22 LNS dibubarkan. Terakhir tahun 2016 ini ada 10 LNS yang
dibubarkan untuk mengurangi keborosan kewenangan yang mengakibatkan
keborosan anggaran. Proses pembubaran tersebut merupakan hasil dari
evaluasi kelembagaan guna mewujudkan birokrasi yang efektif dan efisien.
Untuk kementerian/lembaga, dari target 95 persen pada tahun 2019,
realisasinya pada tahun 2015 mencapai 71 %. Untuk provinsi, dari target
85 %, realisasinya menembus 76 %. Sedangkan untuk kabupaten/kota, dari
target 65 %, realisasinya sudah mencapai 44 %. Untuk kementerian/lembaga
dari target 85 %, realisasinya sudah mencapai 80,52 %. Untuk provinsi,
dari target 75 %, realisasinya mencapai 47,06 %. Adapun untuk
kabupaten/kota, dari target 50 %, baru mencapai 8,93 %,
Terkait akuntabilitas kinerja, instansi
pemerintah yang akuntabel yang memiliki skor B atas SAKIP (Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), perkembangannya relatif
baik, terutama untuk kementerian/lembaga dan provinsi, sedangkan untuk
kabupaten/kota harus dilakukan pembinaan yang intensif.
Komentar
Posting Komentar